Hafizh
Praditya Mahardika
09301241001
Pend.
Matematika Sub ‘09
Aliran
filsafat dapat tergantung dari objek filsafat itu sendiri, misal objeknya
adalahbenda-benda alam maka filsafatnya
termasuk dalam filsafat alam. Aliran filsafat juga diberi nama berdasarkan
tokohnya. Filsafat berdasarkan sifat maka filsafatnya termasuk aliran idealisme, ideal itu tetap yang berarti
alirannya bersesuaian dengan Permenides ataupun Plato. Namun
juga bisa diberi nama sesuai dengan tokohnya, misalnya Hegelianisme. Dia adalah tokoh yang mengatakan yang ada dan yang
mungkin ada itu sejarah, maka filsafat sejarah itu adalah Hegelianisme. Filsafat yang
berdasarkan kanyataan kejadian nyata di sekitar kita termasuk aliran realis, Bilangan
itu tetap, tidak berubah, karena di dalam pikiran. Tapi kalau bilangan-bilangan
di luar pikiran, maka ia meliputi yang ada dan yang mungkin ada, bisa plural.
Misalnya bilangan 5 itu plural, 5 yang besar, 5 yang kecil, 5 yang hijau, bisa
plural, maka filsafatnya bersifat Realisme,
tokohnya adalah Aristoteles. Selain itu ada
pula filsafat yang diberi nama berdasarkan aktifitasnya, misalnya Sokrates
filsafatnya diperoleh melalui kegiatan bertanya dan filsafatnya bernama
dialegtifisme. Kemudian kalau yang benar itu satu namanya monoisme yang tidak
lain tidak bukan ialah Tuhan YME. Kalau yang benar itu banyak maka termasuk
urusan dunia, contohnya filsafat pikiran, karena pikiran itu dunia maka
termasuk pluralisme. Kalau berbicara hati, itu satu, nah kalau
banyak berarti pluralisme. Contohnya kalau Jepang punya Tuhan/dewa banyak
sekali, ada dewa matahari, dewa laut, dewa gunung, dan lain sebagainya. Jika yang benar itu dua maka disebut dualisme, hanya dua
kutub saja, misalnya boleh-tidak boleh, baik-buruk, benar-salah, utara-selatan,
dan lainnya. Kalau yang benar berdasarkan diri sendiri maka disebut subyektifisme, namun jika
mempertimbangkan pendapat orang lain maka disebut objektifisme. Manusia tidak
dapat lepas dari kegiatan menentukan, menentukan apa yang ia pilih, apa yang
akan ia lakukan, apa yang akan ia kenakan, apa yang akan ia hindari, dan
kegiatan menentukan yang lainnya. Namun ditermine absolut tetaplah Tuhan YME.
Filsafat menentukan disebut juga filsafat Ditermineisme.
Kodrat
manusia itu adalah terpilih dan dipilih. Ditermine itu sejalan dengan reduksi
yang mempunyai artian yang sama. Di mana keduanya memiliki kekuatan yang
‘ampuh’, namun di satu sisi juga sangat berbahaya. Manusia diciptakan mempunyai
sepasang mata di depan, hal tersebut telah dikodratkan oleh Tuhan. Manusia tidak
dapat meminta sepasang mata lagi di belakang kepala, bukan karena Tuhan tidak
mampu, namun karena manusia nantinya
tidak akan bisa fokus dan konsentrasi karena memandang dua arah yaitu depan dan
belakang sekaligus. Mata manusia selaras dan serasi, tidak saling ‘bertengkar’
satu sama lain. Itulah bukti kuasa dan kasih sayang Tuhan kepada manusia. Di samping itu, sifat ditermine bisa sangat
berbahaya. Oleh karena itu, manusia tidak bisa lepas dari
kegiatan menentukan. Misalnya ketika kita memakai baju maka kita determine terhadap baju itu, menentukan
nasib baju itu, maka determine absolute
itu adalah Tuhan, manusia kalau hobinya menentukan sifat maka namanya determinism. Semua manusia mempunyai hak untuk mencari kebenaran.
Filsafat itu hidup, maka untuk mempelajarinya menggunakan metode hidup. Metode
hidup ialah bergaul, berinteraksi, dan membaca secara kontinu.
Dewa
adalah kita yang dimensinya setingkat lebih tinggi dari dari orang atau objek
yang lain yang ada di bawahnya. Kita bagaikan dewa bagi adik kita, dewa bagi
pakaian kita, dewa bagi sepatu kita, dewa bagi murid kita. Maka dewa itu adalah yang ada dan yang
mungkin ada terhadap sifat-sifatnya. Penggunaan kata ‘dewa’ karena sifat yang
terdapat pada dewa mewakili kita sebagai orang yang berkuasa mutlak pada apa
yang kita kuasai atau miliki. Dipergunakannya istilah dewa pada
diri kita sebenarnya mempunyai alasan yang bisa dibilang masuk akal bahwa kata
dewa merupakan kata yang paling pas, kecuali ada dari kami yang beragama Hindu
dan mungkin merasa risih dengan kata-kata tersebut. Akan tetapi jangan
digunakan secara parsial dan tidak kontekstual karena akan sangat berbahaya
apabila terjadi kesalahpahaman. Selain itu beliau juga menekankan bahwa
bahasa-bahasa yang digunakan dalam berfilsafat adalah bahasa analog yangmana
lebih tinggi dari sekedar bahasa kiasan. Contohnya
kita berkuasa atas pakaian kita sendiri, mau diseterika berapa kali pun kita
yang memegang kuasa penuh. Namun penggunaan kata ‘dewa’ jangan sampai di luar
batas yang sewajarnya. Karena itu filsafat juga sangat berbahaya jika diterapkan
tidak pada konteksnya. Bahayanya jika seseorang berfilsafat yang tidak
kontekstual, sepenggal-sepenggal, dan tidak utuh. Maka
kalau ukurannya adalah diri seseorang /diriku yang benar maka menurut diriku subyektivisme adalah filsafatnya, kalau
mengakui pendapat orang berarti filsafatnya obyektivisme.
Sungguh apa yang dibuat mengenai subyektivitisme tidak sesederhana itu
memahaminya karena telah mengalami abstraksi yang mahadahsyat/ hebat melalui statement
yang sangat singkat. Belajar filsafat
mempunyai tujuan untuk mempelajari komunikasinya para dewa. Filsafatnya
para dewa adalah transendentalisme.
Dewa itu adalah diri kita yang dimensinya setingkat lebih tinggi dari orang
atau obyek lain yang ada di bawahnya. Misalnya kita punya adik, maka kita
adalah dewa bagi adik kita, maka ilmu kita adalah transenden bagi adik kita,
yang bisa menangkap ayah kita. Contoh yang lain adalah anggota dewan yang
koruptor, maka dewa lain yang bisa menangkapnya adalah KPK. Ketika kami pernah
mengajar, maka kami adalah dewa bagi murid-murid kami, karena filsafat kami itu
transenden bagi mereka maksudnya transenden itu di luar batas. Dewa itu adalah
setiap yang ada dan yang mungkin ada terhadap sifat-sifatnya. Belajar filsafat
itu antara lain mempelajari komunikasi para dewa, jadi belajar berfilsafat itu
tidak mudah karena berdimensi-dimensi. Contohnya dalam tradisi Jawa, dalam
berkomunikasi, tata krama merupakan ilmu dalam sopan santun. Jadi berfilsafat
itu sopan santun terhadap yang ada dan yang mungkin ada.
Orang
bodoh saja yang tidak mengetahui tata krama, karena di dalam tata krama
terdapat ilmu, yaitu ilmu tata krama. Tata krama adalah sopan santun yang ada
dan yang mungkin ada. Matematika benar jika sedang dipikirkan namun ketika
mulai diucapkan atau ditulis maka mulai belum tentu kebenarrannya, bahkan bisa
jadi salah. Karena ucapan itu terbatas, pertama kali diucapkan dengan kedua kali diucapkan sudah berbeda.
Itulah filsafat hukumnya kontradiksi, kontradiksi di sini berbeda dengan
kontradiksi dalam matematika. untuk memahami filsafat, kita harus berfikir di
luar kebiasaan, misalnya mobil baru yang setiap saat dibersihkan, dirawat, hal
itu bisa diilustrasikan sebagai isteri yang kedua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar