Minggu, 18 November 2012

ISTILAH dalam FILSAFAT



 Oleh
Hafizh Praditya Mahardika
09301241001
Pend. Matematika Sub ‘09

Aliran filsafat dapat tergantung dari objek filsafat itu sendiri, misal objeknya adalahbenda-benda  alam maka filsafatnya termasuk dalam filsafat alam. Aliran filsafat juga diberi nama berdasarkan tokohnya. Filsafat berdasarkan sifat maka filsafatnya termasuk aliran idealisme, ideal itu tetap yang berarti alirannya bersesuaian dengan Permenides ataupun Plato. Namun juga bisa diberi nama sesuai dengan tokohnya, misalnya Hegelianisme. Dia adalah tokoh yang mengatakan yang ada dan yang mungkin ada itu sejarah, maka filsafat sejarah itu adalah Hegelianisme. Filsafat yang berdasarkan kanyataan kejadian nyata di sekitar kita termasuk aliran realis, Bilangan itu tetap, tidak berubah, karena di dalam pikiran. Tapi kalau bilangan-bilangan di luar pikiran, maka ia meliputi yang ada dan yang mungkin ada, bisa plural. Misalnya bilangan 5 itu plural, 5 yang besar, 5 yang kecil, 5 yang hijau, bisa plural, maka filsafatnya bersifat Realisme,  tokohnya adalah Aristoteles. Selain itu ada pula filsafat yang diberi nama berdasarkan aktifitasnya, misalnya Sokrates filsafatnya diperoleh melalui kegiatan bertanya dan filsafatnya bernama dialegtifisme. Kemudian kalau yang benar itu satu namanya monoisme yang tidak lain tidak bukan ialah Tuhan YME. Kalau yang benar itu banyak maka termasuk urusan dunia, contohnya filsafat pikiran, karena pikiran itu dunia maka termasuk pluralisme. Kalau berbicara hati, itu satu, nah kalau banyak berarti pluralisme. Contohnya kalau Jepang punya Tuhan/dewa banyak sekali, ada dewa matahari, dewa laut, dewa gunung, dan lain sebagainya. Jika yang benar itu dua maka disebut dualisme, hanya dua kutub saja, misalnya boleh-tidak boleh, baik-buruk, benar-salah, utara-selatan, dan lainnya. Kalau yang benar berdasarkan diri sendiri maka disebut subyektifisme, namun jika mempertimbangkan pendapat orang lain maka disebut objektifisme. Manusia tidak dapat lepas dari kegiatan menentukan, menentukan apa yang ia pilih, apa yang akan ia lakukan, apa yang akan ia kenakan, apa yang akan ia hindari, dan kegiatan menentukan yang lainnya. Namun ditermine absolut tetaplah Tuhan YME. Filsafat menentukan disebut juga filsafat Ditermineisme.
Kodrat manusia itu adalah terpilih dan dipilih. Ditermine itu sejalan dengan reduksi yang mempunyai artian yang sama. Di mana keduanya memiliki kekuatan yang ‘ampuh’, namun di satu sisi juga sangat berbahaya. Manusia diciptakan mempunyai sepasang mata di depan, hal tersebut telah dikodratkan oleh Tuhan. Manusia tidak dapat meminta sepasang mata lagi di belakang kepala, bukan karena Tuhan tidak mampu, namun karena manusia  nantinya tidak akan bisa fokus dan konsentrasi karena memandang dua arah yaitu depan dan belakang sekaligus. Mata manusia selaras dan serasi, tidak saling ‘bertengkar’ satu sama lain. Itulah bukti kuasa dan kasih sayang Tuhan kepada manusia.  Di samping itu, sifat ditermine bisa sangat berbahaya. Oleh karena itu, manusia tidak bisa lepas dari kegiatan menentukan. Misalnya ketika kita memakai baju maka kita determine terhadap baju itu, menentukan nasib baju itu, maka determine absolute itu adalah Tuhan, manusia kalau hobinya menentukan sifat maka namanya determinism. Semua manusia mempunyai hak untuk mencari kebenaran. Filsafat itu hidup, maka untuk mempelajarinya menggunakan metode hidup. Metode hidup ialah bergaul, berinteraksi, dan membaca secara kontinu.
Dewa adalah kita yang dimensinya setingkat lebih tinggi dari dari orang atau objek yang lain yang ada di bawahnya. Kita bagaikan dewa bagi adik kita, dewa bagi pakaian kita, dewa bagi sepatu kita, dewa bagi murid kita.  Maka dewa itu adalah yang ada dan yang mungkin ada terhadap sifat-sifatnya. Penggunaan kata ‘dewa’ karena sifat yang terdapat pada dewa mewakili kita sebagai orang yang berkuasa mutlak pada apa yang kita kuasai atau miliki. Dipergunakannya istilah dewa pada diri kita sebenarnya mempunyai alasan yang bisa dibilang masuk akal bahwa kata dewa merupakan kata yang paling pas, kecuali ada dari kami yang beragama Hindu dan mungkin merasa risih dengan kata-kata tersebut. Akan tetapi jangan digunakan secara parsial dan tidak kontekstual karena akan sangat berbahaya apabila terjadi kesalahpahaman. Selain itu beliau juga menekankan bahwa bahasa-bahasa yang digunakan dalam berfilsafat adalah bahasa analog yangmana lebih tinggi dari sekedar bahasa kiasan. Contohnya kita berkuasa atas pakaian kita sendiri, mau diseterika berapa kali pun kita yang memegang kuasa penuh. Namun penggunaan kata ‘dewa’ jangan sampai di luar batas yang sewajarnya. Karena itu filsafat juga sangat berbahaya jika diterapkan tidak pada konteksnya. Bahayanya jika seseorang berfilsafat yang tidak kontekstual, sepenggal-sepenggal, dan tidak utuh. Maka kalau ukurannya adalah diri seseorang /diriku yang benar maka menurut diriku subyektivisme adalah filsafatnya, kalau mengakui pendapat orang berarti filsafatnya obyektivisme. Sungguh apa yang dibuat mengenai subyektivitisme tidak sesederhana itu memahaminya karena telah mengalami abstraksi yang mahadahsyat/ hebat melalui statement yang sangat singkat. Belajar filsafat mempunyai tujuan untuk mempelajari komunikasinya para dewa. Filsafatnya para dewa adalah transendentalisme. Dewa itu adalah diri kita yang dimensinya setingkat lebih tinggi dari orang atau obyek lain yang ada di bawahnya. Misalnya kita punya adik, maka kita adalah dewa bagi adik kita, maka ilmu kita adalah transenden bagi adik kita, yang bisa menangkap ayah kita. Contoh yang lain adalah anggota dewan yang koruptor, maka dewa lain yang bisa menangkapnya adalah KPK. Ketika kami pernah mengajar, maka kami adalah dewa bagi murid-murid kami, karena filsafat kami itu transenden bagi mereka maksudnya transenden itu di luar batas. Dewa itu adalah setiap yang ada dan yang mungkin ada terhadap sifat-sifatnya. Belajar filsafat itu antara lain mempelajari komunikasi para dewa, jadi belajar berfilsafat itu tidak mudah karena berdimensi-dimensi. Contohnya dalam tradisi Jawa, dalam berkomunikasi, tata krama merupakan ilmu dalam sopan santun. Jadi berfilsafat itu sopan santun terhadap yang ada dan yang mungkin ada.
Orang bodoh saja yang tidak mengetahui tata krama, karena di dalam tata krama terdapat ilmu, yaitu ilmu tata krama. Tata krama adalah sopan santun yang ada dan yang mungkin ada. Matematika benar jika sedang dipikirkan namun ketika mulai diucapkan atau ditulis maka mulai belum tentu kebenarrannya, bahkan bisa jadi salah. Karena ucapan itu terbatas, pertama kali diucapkan  dengan kedua kali diucapkan sudah berbeda. Itulah filsafat hukumnya kontradiksi, kontradiksi di sini berbeda dengan kontradiksi dalam matematika. untuk memahami filsafat, kita harus berfikir di luar kebiasaan, misalnya mobil baru yang setiap saat dibersihkan, dirawat, hal itu bisa diilustrasikan sebagai isteri yang kedua. 

ISTILAH dalam FILSAFAT



 Oleh
Hafizh Praditya Mahardika
09301241001
Pend. Matematika Sub ‘09

Aliran filsafat dapat tergantung dari objek filsafat itu sendiri, misal objeknya adalahbenda-benda  alam maka filsafatnya termasuk dalam filsafat alam. Aliran filsafat juga diberi nama berdasarkan tokohnya. Filsafat berdasarkan sifat maka filsafatnya termasuk aliran idealisme, ideal itu tetap yang berarti alirannya bersesuaian dengan Permenides ataupun Plato. Namun juga bisa diberi nama sesuai dengan tokohnya, misalnya Hegelianisme. Dia adalah tokoh yang mengatakan yang ada dan yang mungkin ada itu sejarah, maka filsafat sejarah itu adalah Hegelianisme. Filsafat yang berdasarkan kanyataan kejadian nyata di sekitar kita termasuk aliran realis, Bilangan itu tetap, tidak berubah, karena di dalam pikiran. Tapi kalau bilangan-bilangan di luar pikiran, maka ia meliputi yang ada dan yang mungkin ada, bisa plural. Misalnya bilangan 5 itu plural, 5 yang besar, 5 yang kecil, 5 yang hijau, bisa plural, maka filsafatnya bersifat Realisme,  tokohnya adalah Aristoteles. Selain itu ada pula filsafat yang diberi nama berdasarkan aktifitasnya, misalnya Sokrates filsafatnya diperoleh melalui kegiatan bertanya dan filsafatnya bernama dialegtifisme. Kemudian kalau yang benar itu satu namanya monoisme yang tidak lain tidak bukan ialah Tuhan YME. Kalau yang benar itu banyak maka termasuk urusan dunia, contohnya filsafat pikiran, karena pikiran itu dunia maka termasuk pluralisme. Kalau berbicara hati, itu satu, nah kalau banyak berarti pluralisme. Contohnya kalau Jepang punya Tuhan/dewa banyak sekali, ada dewa matahari, dewa laut, dewa gunung, dan lain sebagainya. Jika yang benar itu dua maka disebut dualisme, hanya dua kutub saja, misalnya boleh-tidak boleh, baik-buruk, benar-salah, utara-selatan, dan lainnya. Kalau yang benar berdasarkan diri sendiri maka disebut subyektifisme, namun jika mempertimbangkan pendapat orang lain maka disebut objektifisme. Manusia tidak dapat lepas dari kegiatan menentukan, menentukan apa yang ia pilih, apa yang akan ia lakukan, apa yang akan ia kenakan, apa yang akan ia hindari, dan kegiatan menentukan yang lainnya. Namun ditermine absolut tetaplah Tuhan YME. Filsafat menentukan disebut juga filsafat Ditermineisme.
Kodrat manusia itu adalah terpilih dan dipilih. Ditermine itu sejalan dengan reduksi yang mempunyai artian yang sama. Di mana keduanya memiliki kekuatan yang ‘ampuh’, namun di satu sisi juga sangat berbahaya. Manusia diciptakan mempunyai sepasang mata di depan, hal tersebut telah dikodratkan oleh Tuhan. Manusia tidak dapat meminta sepasang mata lagi di belakang kepala, bukan karena Tuhan tidak mampu, namun karena manusia  nantinya tidak akan bisa fokus dan konsentrasi karena memandang dua arah yaitu depan dan belakang sekaligus. Mata manusia selaras dan serasi, tidak saling ‘bertengkar’ satu sama lain. Itulah bukti kuasa dan kasih sayang Tuhan kepada manusia.  Di samping itu, sifat ditermine bisa sangat berbahaya. Oleh karena itu, manusia tidak bisa lepas dari kegiatan menentukan. Misalnya ketika kita memakai baju maka kita determine terhadap baju itu, menentukan nasib baju itu, maka determine absolute itu adalah Tuhan, manusia kalau hobinya menentukan sifat maka namanya determinism. Semua manusia mempunyai hak untuk mencari kebenaran. Filsafat itu hidup, maka untuk mempelajarinya menggunakan metode hidup. Metode hidup ialah bergaul, berinteraksi, dan membaca secara kontinu.
Dewa adalah kita yang dimensinya setingkat lebih tinggi dari dari orang atau objek yang lain yang ada di bawahnya. Kita bagaikan dewa bagi adik kita, dewa bagi pakaian kita, dewa bagi sepatu kita, dewa bagi murid kita.  Maka dewa itu adalah yang ada dan yang mungkin ada terhadap sifat-sifatnya. Penggunaan kata ‘dewa’ karena sifat yang terdapat pada dewa mewakili kita sebagai orang yang berkuasa mutlak pada apa yang kita kuasai atau miliki. Dipergunakannya istilah dewa pada diri kita sebenarnya mempunyai alasan yang bisa dibilang masuk akal bahwa kata dewa merupakan kata yang paling pas, kecuali ada dari kami yang beragama Hindu dan mungkin merasa risih dengan kata-kata tersebut. Akan tetapi jangan digunakan secara parsial dan tidak kontekstual karena akan sangat berbahaya apabila terjadi kesalahpahaman. Selain itu beliau juga menekankan bahwa bahasa-bahasa yang digunakan dalam berfilsafat adalah bahasa analog yangmana lebih tinggi dari sekedar bahasa kiasan. Contohnya kita berkuasa atas pakaian kita sendiri, mau diseterika berapa kali pun kita yang memegang kuasa penuh. Namun penggunaan kata ‘dewa’ jangan sampai di luar batas yang sewajarnya. Karena itu filsafat juga sangat berbahaya jika diterapkan tidak pada konteksnya. Bahayanya jika seseorang berfilsafat yang tidak kontekstual, sepenggal-sepenggal, dan tidak utuh. Maka kalau ukurannya adalah diri seseorang /diriku yang benar maka menurut diriku subyektivisme adalah filsafatnya, kalau mengakui pendapat orang berarti filsafatnya obyektivisme. Sungguh apa yang dibuat mengenai subyektivitisme tidak sesederhana itu memahaminya karena telah mengalami abstraksi yang mahadahsyat/ hebat melalui statement yang sangat singkat. Belajar filsafat mempunyai tujuan untuk mempelajari komunikasinya para dewa. Filsafatnya para dewa adalah transendentalisme. Dewa itu adalah diri kita yang dimensinya setingkat lebih tinggi dari orang atau obyek lain yang ada di bawahnya. Misalnya kita punya adik, maka kita adalah dewa bagi adik kita, maka ilmu kita adalah transenden bagi adik kita, yang bisa menangkap ayah kita. Contoh yang lain adalah anggota dewan yang koruptor, maka dewa lain yang bisa menangkapnya adalah KPK. Ketika kami pernah mengajar, maka kami adalah dewa bagi murid-murid kami, karena filsafat kami itu transenden bagi mereka maksudnya transenden itu di luar batas. Dewa itu adalah setiap yang ada dan yang mungkin ada terhadap sifat-sifatnya. Belajar filsafat itu antara lain mempelajari komunikasi para dewa, jadi belajar berfilsafat itu tidak mudah karena berdimensi-dimensi. Contohnya dalam tradisi Jawa, dalam berkomunikasi, tata krama merupakan ilmu dalam sopan santun. Jadi berfilsafat itu sopan santun terhadap yang ada dan yang mungkin ada.
Orang bodoh saja yang tidak mengetahui tata krama, karena di dalam tata krama terdapat ilmu, yaitu ilmu tata krama. Tata krama adalah sopan santun yang ada dan yang mungkin ada. Matematika benar jika sedang dipikirkan namun ketika mulai diucapkan atau ditulis maka mulai belum tentu kebenarrannya, bahkan bisa jadi salah. Karena ucapan itu terbatas, pertama kali diucapkan  dengan kedua kali diucapkan sudah berbeda. Itulah filsafat hukumnya kontradiksi, kontradiksi di sini berbeda dengan kontradiksi dalam matematika. untuk memahami filsafat, kita harus berfikir di luar kebiasaan, misalnya mobil baru yang setiap saat dibersihkan, dirawat, hal itu bisa diilustrasikan sebagai isteri yang kedua. 

ISTILAH dalam FILSAFAT



 Oleh
Hafizh Praditya Mahardika
09301241001
Pend. Matematika Sub ‘09

Aliran filsafat dapat tergantung dari objek filsafat itu sendiri, misal objeknya adalahbenda-benda  alam maka filsafatnya termasuk dalam filsafat alam. Aliran filsafat juga diberi nama berdasarkan tokohnya. Filsafat berdasarkan sifat maka filsafatnya termasuk aliran idealisme, ideal itu tetap yang berarti alirannya bersesuaian dengan Permenides ataupun Plato. Namun juga bisa diberi nama sesuai dengan tokohnya, misalnya Hegelianisme. Dia adalah tokoh yang mengatakan yang ada dan yang mungkin ada itu sejarah, maka filsafat sejarah itu adalah Hegelianisme. Filsafat yang berdasarkan kanyataan kejadian nyata di sekitar kita termasuk aliran realis, Bilangan itu tetap, tidak berubah, karena di dalam pikiran. Tapi kalau bilangan-bilangan di luar pikiran, maka ia meliputi yang ada dan yang mungkin ada, bisa plural. Misalnya bilangan 5 itu plural, 5 yang besar, 5 yang kecil, 5 yang hijau, bisa plural, maka filsafatnya bersifat Realisme,  tokohnya adalah Aristoteles. Selain itu ada pula filsafat yang diberi nama berdasarkan aktifitasnya, misalnya Sokrates filsafatnya diperoleh melalui kegiatan bertanya dan filsafatnya bernama dialegtifisme. Kemudian kalau yang benar itu satu namanya monoisme yang tidak lain tidak bukan ialah Tuhan YME. Kalau yang benar itu banyak maka termasuk urusan dunia, contohnya filsafat pikiran, karena pikiran itu dunia maka termasuk pluralisme. Kalau berbicara hati, itu satu, nah kalau banyak berarti pluralisme. Contohnya kalau Jepang punya Tuhan/dewa banyak sekali, ada dewa matahari, dewa laut, dewa gunung, dan lain sebagainya. Jika yang benar itu dua maka disebut dualisme, hanya dua kutub saja, misalnya boleh-tidak boleh, baik-buruk, benar-salah, utara-selatan, dan lainnya. Kalau yang benar berdasarkan diri sendiri maka disebut subyektifisme, namun jika mempertimbangkan pendapat orang lain maka disebut objektifisme. Manusia tidak dapat lepas dari kegiatan menentukan, menentukan apa yang ia pilih, apa yang akan ia lakukan, apa yang akan ia kenakan, apa yang akan ia hindari, dan kegiatan menentukan yang lainnya. Namun ditermine absolut tetaplah Tuhan YME. Filsafat menentukan disebut juga filsafat Ditermineisme.
Kodrat manusia itu adalah terpilih dan dipilih. Ditermine itu sejalan dengan reduksi yang mempunyai artian yang sama. Di mana keduanya memiliki kekuatan yang ‘ampuh’, namun di satu sisi juga sangat berbahaya. Manusia diciptakan mempunyai sepasang mata di depan, hal tersebut telah dikodratkan oleh Tuhan. Manusia tidak dapat meminta sepasang mata lagi di belakang kepala, bukan karena Tuhan tidak mampu, namun karena manusia  nantinya tidak akan bisa fokus dan konsentrasi karena memandang dua arah yaitu depan dan belakang sekaligus. Mata manusia selaras dan serasi, tidak saling ‘bertengkar’ satu sama lain. Itulah bukti kuasa dan kasih sayang Tuhan kepada manusia.  Di samping itu, sifat ditermine bisa sangat berbahaya. Oleh karena itu, manusia tidak bisa lepas dari kegiatan menentukan. Misalnya ketika kita memakai baju maka kita determine terhadap baju itu, menentukan nasib baju itu, maka determine absolute itu adalah Tuhan, manusia kalau hobinya menentukan sifat maka namanya determinism. Semua manusia mempunyai hak untuk mencari kebenaran. Filsafat itu hidup, maka untuk mempelajarinya menggunakan metode hidup. Metode hidup ialah bergaul, berinteraksi, dan membaca secara kontinu.
Dewa adalah kita yang dimensinya setingkat lebih tinggi dari dari orang atau objek yang lain yang ada di bawahnya. Kita bagaikan dewa bagi adik kita, dewa bagi pakaian kita, dewa bagi sepatu kita, dewa bagi murid kita.  Maka dewa itu adalah yang ada dan yang mungkin ada terhadap sifat-sifatnya. Penggunaan kata ‘dewa’ karena sifat yang terdapat pada dewa mewakili kita sebagai orang yang berkuasa mutlak pada apa yang kita kuasai atau miliki. Dipergunakannya istilah dewa pada diri kita sebenarnya mempunyai alasan yang bisa dibilang masuk akal bahwa kata dewa merupakan kata yang paling pas, kecuali ada dari kami yang beragama Hindu dan mungkin merasa risih dengan kata-kata tersebut. Akan tetapi jangan digunakan secara parsial dan tidak kontekstual karena akan sangat berbahaya apabila terjadi kesalahpahaman. Selain itu beliau juga menekankan bahwa bahasa-bahasa yang digunakan dalam berfilsafat adalah bahasa analog yangmana lebih tinggi dari sekedar bahasa kiasan. Contohnya kita berkuasa atas pakaian kita sendiri, mau diseterika berapa kali pun kita yang memegang kuasa penuh. Namun penggunaan kata ‘dewa’ jangan sampai di luar batas yang sewajarnya. Karena itu filsafat juga sangat berbahaya jika diterapkan tidak pada konteksnya. Bahayanya jika seseorang berfilsafat yang tidak kontekstual, sepenggal-sepenggal, dan tidak utuh. Maka kalau ukurannya adalah diri seseorang /diriku yang benar maka menurut diriku subyektivisme adalah filsafatnya, kalau mengakui pendapat orang berarti filsafatnya obyektivisme. Sungguh apa yang dibuat mengenai subyektivitisme tidak sesederhana itu memahaminya karena telah mengalami abstraksi yang mahadahsyat/ hebat melalui statement yang sangat singkat. Belajar filsafat mempunyai tujuan untuk mempelajari komunikasinya para dewa. Filsafatnya para dewa adalah transendentalisme. Dewa itu adalah diri kita yang dimensinya setingkat lebih tinggi dari orang atau obyek lain yang ada di bawahnya. Misalnya kita punya adik, maka kita adalah dewa bagi adik kita, maka ilmu kita adalah transenden bagi adik kita, yang bisa menangkap ayah kita. Contoh yang lain adalah anggota dewan yang koruptor, maka dewa lain yang bisa menangkapnya adalah KPK. Ketika kami pernah mengajar, maka kami adalah dewa bagi murid-murid kami, karena filsafat kami itu transenden bagi mereka maksudnya transenden itu di luar batas. Dewa itu adalah setiap yang ada dan yang mungkin ada terhadap sifat-sifatnya. Belajar filsafat itu antara lain mempelajari komunikasi para dewa, jadi belajar berfilsafat itu tidak mudah karena berdimensi-dimensi. Contohnya dalam tradisi Jawa, dalam berkomunikasi, tata krama merupakan ilmu dalam sopan santun. Jadi berfilsafat itu sopan santun terhadap yang ada dan yang mungkin ada.
Orang bodoh saja yang tidak mengetahui tata krama, karena di dalam tata krama terdapat ilmu, yaitu ilmu tata krama. Tata krama adalah sopan santun yang ada dan yang mungkin ada. Matematika benar jika sedang dipikirkan namun ketika mulai diucapkan atau ditulis maka mulai belum tentu kebenarrannya, bahkan bisa jadi salah. Karena ucapan itu terbatas, pertama kali diucapkan  dengan kedua kali diucapkan sudah berbeda. Itulah filsafat hukumnya kontradiksi, kontradiksi di sini berbeda dengan kontradiksi dalam matematika. untuk memahami filsafat, kita harus berfikir di luar kebiasaan, misalnya mobil baru yang setiap saat dibersihkan, dirawat, hal itu bisa diilustrasikan sebagai isteri yang kedua. 

ISTILAH dalam FILSAFAT



 Oleh
Hafizh Praditya Mahardika
09301241001
Pend. Matematika Sub ‘09

Aliran filsafat dapat tergantung dari objek filsafat itu sendiri, misal objeknya adalahbenda-benda  alam maka filsafatnya termasuk dalam filsafat alam. Aliran filsafat juga diberi nama berdasarkan tokohnya. Filsafat berdasarkan sifat maka filsafatnya termasuk aliran idealisme, ideal itu tetap yang berarti alirannya bersesuaian dengan Permenides ataupun Plato. Namun juga bisa diberi nama sesuai dengan tokohnya, misalnya Hegelianisme. Dia adalah tokoh yang mengatakan yang ada dan yang mungkin ada itu sejarah, maka filsafat sejarah itu adalah Hegelianisme. Filsafat yang berdasarkan kanyataan kejadian nyata di sekitar kita termasuk aliran realis, Bilangan itu tetap, tidak berubah, karena di dalam pikiran. Tapi kalau bilangan-bilangan di luar pikiran, maka ia meliputi yang ada dan yang mungkin ada, bisa plural. Misalnya bilangan 5 itu plural, 5 yang besar, 5 yang kecil, 5 yang hijau, bisa plural, maka filsafatnya bersifat Realisme,  tokohnya adalah Aristoteles. Selain itu ada pula filsafat yang diberi nama berdasarkan aktifitasnya, misalnya Sokrates filsafatnya diperoleh melalui kegiatan bertanya dan filsafatnya bernama dialegtifisme. Kemudian kalau yang benar itu satu namanya monoisme yang tidak lain tidak bukan ialah Tuhan YME. Kalau yang benar itu banyak maka termasuk urusan dunia, contohnya filsafat pikiran, karena pikiran itu dunia maka termasuk pluralisme. Kalau berbicara hati, itu satu, nah kalau banyak berarti pluralisme. Contohnya kalau Jepang punya Tuhan/dewa banyak sekali, ada dewa matahari, dewa laut, dewa gunung, dan lain sebagainya. Jika yang benar itu dua maka disebut dualisme, hanya dua kutub saja, misalnya boleh-tidak boleh, baik-buruk, benar-salah, utara-selatan, dan lainnya. Kalau yang benar berdasarkan diri sendiri maka disebut subyektifisme, namun jika mempertimbangkan pendapat orang lain maka disebut objektifisme. Manusia tidak dapat lepas dari kegiatan menentukan, menentukan apa yang ia pilih, apa yang akan ia lakukan, apa yang akan ia kenakan, apa yang akan ia hindari, dan kegiatan menentukan yang lainnya. Namun ditermine absolut tetaplah Tuhan YME. Filsafat menentukan disebut juga filsafat Ditermineisme.
Kodrat manusia itu adalah terpilih dan dipilih. Ditermine itu sejalan dengan reduksi yang mempunyai artian yang sama. Di mana keduanya memiliki kekuatan yang ‘ampuh’, namun di satu sisi juga sangat berbahaya. Manusia diciptakan mempunyai sepasang mata di depan, hal tersebut telah dikodratkan oleh Tuhan. Manusia tidak dapat meminta sepasang mata lagi di belakang kepala, bukan karena Tuhan tidak mampu, namun karena manusia  nantinya tidak akan bisa fokus dan konsentrasi karena memandang dua arah yaitu depan dan belakang sekaligus. Mata manusia selaras dan serasi, tidak saling ‘bertengkar’ satu sama lain. Itulah bukti kuasa dan kasih sayang Tuhan kepada manusia.  Di samping itu, sifat ditermine bisa sangat berbahaya. Oleh karena itu, manusia tidak bisa lepas dari kegiatan menentukan. Misalnya ketika kita memakai baju maka kita determine terhadap baju itu, menentukan nasib baju itu, maka determine absolute itu adalah Tuhan, manusia kalau hobinya menentukan sifat maka namanya determinism. Semua manusia mempunyai hak untuk mencari kebenaran. Filsafat itu hidup, maka untuk mempelajarinya menggunakan metode hidup. Metode hidup ialah bergaul, berinteraksi, dan membaca secara kontinu.
Dewa adalah kita yang dimensinya setingkat lebih tinggi dari dari orang atau objek yang lain yang ada di bawahnya. Kita bagaikan dewa bagi adik kita, dewa bagi pakaian kita, dewa bagi sepatu kita, dewa bagi murid kita.  Maka dewa itu adalah yang ada dan yang mungkin ada terhadap sifat-sifatnya. Penggunaan kata ‘dewa’ karena sifat yang terdapat pada dewa mewakili kita sebagai orang yang berkuasa mutlak pada apa yang kita kuasai atau miliki. Dipergunakannya istilah dewa pada diri kita sebenarnya mempunyai alasan yang bisa dibilang masuk akal bahwa kata dewa merupakan kata yang paling pas, kecuali ada dari kami yang beragama Hindu dan mungkin merasa risih dengan kata-kata tersebut. Akan tetapi jangan digunakan secara parsial dan tidak kontekstual karena akan sangat berbahaya apabila terjadi kesalahpahaman. Selain itu beliau juga menekankan bahwa bahasa-bahasa yang digunakan dalam berfilsafat adalah bahasa analog yangmana lebih tinggi dari sekedar bahasa kiasan. Contohnya kita berkuasa atas pakaian kita sendiri, mau diseterika berapa kali pun kita yang memegang kuasa penuh. Namun penggunaan kata ‘dewa’ jangan sampai di luar batas yang sewajarnya. Karena itu filsafat juga sangat berbahaya jika diterapkan tidak pada konteksnya. Bahayanya jika seseorang berfilsafat yang tidak kontekstual, sepenggal-sepenggal, dan tidak utuh. Maka kalau ukurannya adalah diri seseorang /diriku yang benar maka menurut diriku subyektivisme adalah filsafatnya, kalau mengakui pendapat orang berarti filsafatnya obyektivisme. Sungguh apa yang dibuat mengenai subyektivitisme tidak sesederhana itu memahaminya karena telah mengalami abstraksi yang mahadahsyat/ hebat melalui statement yang sangat singkat. Belajar filsafat mempunyai tujuan untuk mempelajari komunikasinya para dewa. Filsafatnya para dewa adalah transendentalisme. Dewa itu adalah diri kita yang dimensinya setingkat lebih tinggi dari orang atau obyek lain yang ada di bawahnya. Misalnya kita punya adik, maka kita adalah dewa bagi adik kita, maka ilmu kita adalah transenden bagi adik kita, yang bisa menangkap ayah kita. Contoh yang lain adalah anggota dewan yang koruptor, maka dewa lain yang bisa menangkapnya adalah KPK. Ketika kami pernah mengajar, maka kami adalah dewa bagi murid-murid kami, karena filsafat kami itu transenden bagi mereka maksudnya transenden itu di luar batas. Dewa itu adalah setiap yang ada dan yang mungkin ada terhadap sifat-sifatnya. Belajar filsafat itu antara lain mempelajari komunikasi para dewa, jadi belajar berfilsafat itu tidak mudah karena berdimensi-dimensi. Contohnya dalam tradisi Jawa, dalam berkomunikasi, tata krama merupakan ilmu dalam sopan santun. Jadi berfilsafat itu sopan santun terhadap yang ada dan yang mungkin ada.
Orang bodoh saja yang tidak mengetahui tata krama, karena di dalam tata krama terdapat ilmu, yaitu ilmu tata krama. Tata krama adalah sopan santun yang ada dan yang mungkin ada. Matematika benar jika sedang dipikirkan namun ketika mulai diucapkan atau ditulis maka mulai belum tentu kebenarrannya, bahkan bisa jadi salah. Karena ucapan itu terbatas, pertama kali diucapkan  dengan kedua kali diucapkan sudah berbeda. Itulah filsafat hukumnya kontradiksi, kontradiksi di sini berbeda dengan kontradiksi dalam matematika. untuk memahami filsafat, kita harus berfikir di luar kebiasaan, misalnya mobil baru yang setiap saat dibersihkan, dirawat, hal itu bisa diilustrasikan sebagai isteri yang kedua.